Kolaborasi ini bertujuan memperkuat pemahaman masyarakat soal pentingnya pengolahan sampah organik yang tidak hanya mengurangi limbah, tapi juga menghasilkan nilai tambah. Warga Pasir Angin telah lebih dahulu membuktikan bahwa dengan sistem sederhana, maggot dapat diubah menjadi pakan ternak bernutrisi tinggi dan bahan baku pupuk ramah lingkungan.
“Kalau larvanya masih muda, nutrisinya sangat bagus. Kami pisahkan sebagian untuk bibit, sisanya langsung untuk pakan,” ujar salah satu penggiat budidaya maggot setempat. Larva ini dipelihara dengan sampah dapur seperti sayur busuk dan sisa makanan yang merupakan makanan favorit maggot yang justru membantu mengurai sampah rumah tangga.
Menariknya, lalat BSF dewasa tidak menimbulkan gangguan seperti lalat hijau karena mereka tidak membawa penyakit dan tidak perlu diberi makan. Siklus hidupnya juga cepat dan efisien. Setelah kawin dan bertelur, lalat jantan akan mati secara alami, sedangkan telur-telurnya akan kembali menjadi larva pemakan sampah.
Budidaya ini bukan tanpa tantangan. Kesadaran warga terhadap pengelolaan sampah masih rendah. Meskipun sudah disediakan ember untuk pemilahan, tidak semua warga disiplin. Beberapa bahkan harus dijemput menggunakan motor roda tiga (bentor) untuk memastikan sampahnya sampai di tempat pengolahan.
Dengan sistem plasma, warga bisa mendapat bibit larva berusia seminggu yang sudah aktif makan. Dari 5 kg maggot, bisa diurai hingga 15 kg sampah dalam waktu 5 hari. Ini bukan hanya soal pengelolaan limbah, tetapi juga potensi ekonomi yang menjanjikan.
Produk turunannya pun tak main-main. Maggot kering dari Pasir Angin sudah menembus pasar ekspor ke Jepang dan digunakan sebagai bahan pakan, pupuk, hingga kosmetik. Bahkan, olahan konsumsi manusia seperti maggot balado mulai diperkenalkan di beberapa daerah.
Kegiatan edukasi ini menjadi langkah awal bagi KKN Desa Kuta untuk membawa inspirasi dan praktik nyata ke daerah mereka sendiri. Rencananya, budidaya maggot akan mulai diperkenalkan di Desa Kuta sebagai upaya solusi mandiri dalam menangani sampah organik.
“Kalau masyarakat sudah sadar, mereka akan mandiri. Tidak perlu retribusi, tidak perlu honor. Ini tentang membangun budaya lingkungan yang lestari,” tutup Ruslan sang penggiat.
Program ini diharapkan mampu menjadi model replikasi di berbagai desa, membawa semangat ekonomi sirkular dan teknologi tepat guna untuk masa depan yang lebih bersih dan berdaya.
Penulis: RAD
0 Komentar