𝗧𝗲𝘁𝗮𝗽 𝗕𝗲𝗿𝗴𝘂𝗹𝗮𝘁 𝗨𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗕𝗲𝗿𝗱𝗮𝘂𝗹𝗮𝘁: 𝗥𝗲𝗮𝗹𝗶𝘁𝗮 𝗞𝗲𝗵𝗶𝗱𝘂𝗽𝗮𝗻 𝗱𝗶 𝗣𝗲𝗿𝗸𝗲𝗯𝘂𝗻𝗮𝗻 𝗧𝗲𝗵


Lingkar Studi Pers, Bogor - Salah satu mahasiswa di kampus swasta, Masbang, merasa bersemangat saat ada konfirmasi persetujuan audiensi ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bogor. Baginya, ada kesempatan untuk memperjuangkan penyelesaian polemik pendidikan diantara kerumitan lain seperti kesulitan dengan kondisi jalan yang buruk dan pencemaran lingkungan di Kampung Cikoneng, Desa Tugu Utara, Kabupaten Bogor.


Di balik kawasan asri perkebunan teh area perbukitan Gunung Kencana Bogor, tersimpan kehidupan para warga yang terbelakang. Hal ini disebabkan akses dari pintu masuk Talaga Saat menuju Kampung Cikoneng sekitar 2,6 kilometer tidak dapat diakses dengan mudah, jalan bebatuan yang terjal dengan pinggiran jurang membutuhkan waktu tempuh dua kali lipat dari yang sebenarnya, kondisi ini tentunya berdampak pada kesejahteraan masyarakat seperti kelancaran proses pendidikan dan aktivitas masyarakat serta ketersediaan layanan bagi masyarakat dari pemerintah setempat.


Menilik kembali ke tahun 1994, saat pertama kali berdirinya permukiman di area para buruh tani teh bekerja. Rudi, salah satu tokoh masyarakat di Cikoneng berbagi cerita bahwa permukiman ini dibangun oleh Astra Argo Niaga.


"Karena ada kerja sama antara Astra Argo Niaga dengan Ciliwung SSBP. Jadi nyimpen saham, ada kerjasama. Tadinya banyak pinggir-pinggir jalan rumah yang satu tipe, jadi satu kopel itu dua kepala keluarga, jadi bersebelahan,” jelasnya.


Sebagai buruh tani teh, setiap hari masyarakat bertugas merawat kebun teh yang mendapatkan gaji sekitar tiga puluh ribu per hari dengan jam kerja mulai dari pukul 07.00 hingga 14.00 WIB, gaji dapat mencapai seratus ribu apabila datang masa panen dengan jam kerja yang tidak bisa ditentukan. Untuk menambah penghasilan yang tidak dapat mencukupi kebutuhan seluruh anggota keluarga, beberapa dari masyarakat membuka warung kecil yang menyediakan makanan ringan dan alat rumah tangga seadanya serta lahan parkir yang diperuntukkan untuk wisatawan dengan tujuan Gunung Kencana Bogor.


Tidak dapat dimungkiri di balik keasrian hamparan kebun teh, semakin hari semakin banyak sampah yang menumpuk. Baik sampah organik maupun anorganik yang berasal dari sampah rumah tangga dan sampah sisa berwisata. Mirisnya, mereka sulit dalam mengatur sampah karena tidak adanya bak khusus pembuangan sampah di Cikoneng. Tidak ada uluran tangan dari aparatur pemerintah setempat yang menjanjikan untuk sekadar mengirimkan petugas dinas lingkungan hidup untuk mengangkut sampah-sampah yang menumpuk di area kampung.


Menurut Rita Rahmawati, pakar bidang Ilmu Sosiologi menyebut, akses merupakan salah satu hal yang penting dalam ukuran kesejahteraan masyarakat di suatu daerah. 


“Jadi semakin terbukanya akses, maka kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan di kampung tersebut semakin tingggi. Jika tanpa akses, cost produksi akan jadi mahal,” terangnya.


Perjuangan dalam Menimba Ilmu


Berbanding terbalik dengan akses dengan bebatuan, cuaca dingin yang ekstrem, kondisi lingkungan yang tidak nyaman, setiap pagi terdengar suara truk pengangkat daun teh datang yang berisi puluhan murid dan pengajar dari luar kampung datang diiringi dengan suara riang dan ekspresi wajah gembira. Para murid datang mengenakan seragam sekolah yang tidak beraturan serta dilapisi oleh jaket untuk menghindari dingin yang berlebihan.


Sekolah yang terletak di ketinggian 1423 meter di atas permukaan laut (mdpl) bangunannya berpola menyerupai huruf U itu berdiri tegak di tengah hamparan luas perkebunan teh yang mencapai 560 hektare. SD Negeri Cikoneng memiliki murid yang berasal dari kampung berbeda. Kampung tersebut terdiri dari Kampung Rawa dengan jarak tempuh 2 Kilometer menuju sekolah, Kampung Cibulao dengan jarak tempuh 2,5 Kilometer dan murid yang tinggal di Kampung Cikoneng, di mana sekolah berdiri.


Saat tiba waktunya untuk belajar. Para murid pun memasuki ruangan kelas dengan diawali membaca do'a bersama-sama serta tak jarang mereka menyuarakan yel-yel di masing-masing kelas. "Cikoneng?" "Sehat, Cerdas Ceria!", terdengar riuh yel-yel kebanggaan mereka di sekolah tercinta. Dengan lantang dan penuh semangat mereka menyuarakan yel-yel sebelum pelajaran di mulai. Para murid pun belajar dan bermain bersama disamping keterbatasan fasilitas sekolah yang tidak memadai.


Dengan semangat yang sama, pahlawan-pahlawan tanda jasa di SD Negeri Cikoneng mengabdikan diri dengan dedikasi dan cinta yang tinggi. Mereka terdiri dari enam orang, dua orang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan empat lainnya merupakan guru honorer. SD Negeri Cikoneng memiliki memiliki enam kelas dan kegiatan belajar mengajar dilaksanakan selama lima hari dalam sepekan dengan durasi yang minim mulai dari pukul 08.00 hingga pukul 11.00 WIB, lamanya waktu belajar tidak bisa dipastikan karena jika melewatkan truk pengangkut daun teh maka mereka harus pulang dengan berjalan kaki.


Truk pengangkut daun teh pun sudah terlihat turun dari atas bukit, menandakan kelas harus berhenti. Para murid dengan cepat mulai merapihkan alat tulisnya, para guru menutup sesi pembelajaran lalu membantu para murid menaiki truk untuk pulang bersama.


Pada siang hari, SD Negeri Cikoneng berubah menjadi tempat belajar bagi murid Paket B dan Paket C. Namun, jumlah murid tidak sebanyak murid sekolah dasar. Dibalik keterbatasan fasilitas dan para pengajar, mereka sama saja seperti siswa pada umumnya yang memiliki mimpi. Mereka dididik untuk mempunyai mimpi, dengan mimpi orang akan terdorong untuk mencapai mimpinya dengan usaha-usaha yang tak terbatas. 


Rudi, salah satu orang yang terus merintis pendidikan mulai dari kelompok belajar hingga berdirinya sekolah menuturkan banyak murid lulusan paket C dari Cikoneng berhasil menjadi mandor dan bekerja di luar kampung.


"Bahkan, ada yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu kuliah. Mereka ada yang di IPB dan UNJ, itu yang membuat saya bangga,” tutur Rudi dengan sumringah.


Rita Rahmawati yang juga merupakan dosen di Universitas Djuanda memaparkan standar kesejateraan masyarakat tentunya berbeda-beda tergantung dari tempat dimana ia tinggal, meskipun begitu standar kesejahteraan bagi penduduk kota maupun penduduk desa dapat dilihat dari pendapatan per kapita. Masyarakat desa sendiri dapat dikatakan sejahtera apabila berdaulat secara ekonomi dengan memiliki aset produksi yang berfungsi sedangkan masyarakat kota dapat dilihat ketahanan, Sedangkan secara ukuran global, dapat dilihat menurut Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang terdiri dari kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Maka dapat dikatakan masyarakat tidak memenuhi standar kesejahteraan apabila pendidikan, kesehatan dan ekonomi di daerah tersebut kurang.


Hingga hari ini, ratusan mahasiswa dan volunteer silih berganti datang untuk membantu mengurangi problematika yang ada di Kampung Cikoneng. Namun ironisnya belum ada secercah harapan yang dapat membuat masyarakat keluar dari kondisi tersebut. Perjuangan Masbang dan mahasiswa lainnya pun belum selesai. Semangat yang membara harus tetap dijaga sampai tahap advokasi, sesuai dengan putusan DPRD. Hal-hal yang diajukan sebagai polemik benar terjadi dan memiliki dampak yang sangat besar bagi penerus bangsa harus tetap disuarakan untuk keadilan yang semestinya didapatkan.


Tulisan ini ditulis oleh Jawi Fadilah, Lisda dan Silvia Hendrika Putri Mahasiswa Sains Komunikasi FISIPKOM Universitas Djuanda yang masuk di babak Semi Final Lima Besar Skala Nasional Lomba Journalight pada ajang Pekan Komunikasi 2023 yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia

Posting Komentar

0 Komentar