Dulu, promosi buku identik dengan brosur atau katalog tebal yang dibagikan di sekolah-sekolah. Sekarang? Semua itu sudah bergeser ke dunia digital. Konsumen tidak lagi menunggu brosur, mereka justru aktif mencari informasi di layar ponsel. Instagram jadi salah satu “etalase” paling efektif untuk mengenalkan buku kepada konsumen, terutama generasi yang setiap hari akrab dengan media sosial.
Di sinilah Instagram memainkan peran penting. Lewat fitur feed, reels, hingga stories, penerbit punya ruang luas untuk menyampaikan cerita tentang produk mereka dengan cara yang lebih kreatif dan menarik. Promosi semacam ini terasa lebih “hidup”.
Misalnya, buku baru bisa dikenalkan lewat video/foto yang singkat tapi menarik, reels yang menampilkan tips belajar dengan menggunakan buku tersebut, atau unggahan feed dengan visual cerah yang membuat konsumen berhenti sejenak saat scrolling untuk memperhatikan. Dengan pendekatan ini, promosi terasa lebih dekat dan relevan dengan keseharian konsumen.
Yang menarik, promosi di Instagram bukan hanya soal memperlihatkan produk, tapi juga membangun cerita di baliknya. Dengan storytelling visual, buku pendidikan bisa tampil lebih segar dan nggak kaku. Konsumen pun bisa melihat buku bukan sekadar benda, melainkan teman belajar yang relevan dengan kebutuhan mereka.
Tentu ada tantangan. Promosi buku bersaing dengan konten hiburan yang jauh lebih “heboh” dan mendominasi perhatian di Instagram. Tapi di situlah justru penerbit perlu kreatif. Selama strategi konten konsisten, visualnya menarik, dan pesannya jelas, promosi buku bisa tetap bersinar di tengah derasnya arus informasi.
Menurut saya, strategi ini penting bukan hanya untuk meningkatkan penjualan, tapi juga memperkuat posisi penerbit di benak konsumen. Di era sekarang, buku yang baik butuh “panggung” yang tepat untuk dikenal luas. Dan Instagram, dengan segala fiturnya, sudah jadi panggung utama promosi buku di era digital.
Penulis : Haifa Hana Panji Awalia
0 Komentar