𝗠𝗲𝗻𝗰𝗮𝗿𝗶 𝗞𝗲𝗮𝗱𝗶𝗹𝗮𝗻 𝗕𝗮𝗴𝗶 𝗠𝗲𝗿𝗲𝗸𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗗𝗶𝗽𝗶𝗻𝗴𝗴𝗶𝗿𝗸𝗮𝗻


Lingkar Studi Pers, Bogor - Sembari melambaikan tangan, seorang perempuan bernama Pipit Handayani berusia 22 tahun tampak diam saja seperti kebingungan dan berseru seolah memanggil ibunya. Apa yang disampaikan perempuan berambut ikal itu rasanya tidak ada seorang pun yang paham. Bagai siang memeluk malam, itulah yang kami rasakan ketika bertemu dengan remaja menuju dewasa yang akrab disapa Pipit di Desa Muhara RT 03/RW 07 Kecamatan Citeureup. Keseharian hidupnya dipenuhi dengan kehampaan ia habiskan untuk berdiam diri di rumah. 


Semua bermula ketika Pipit berusia 3 tahun, tepatnya tahun 2004. Kabar duka yang menimpa masyarakat Aceh dan sekitarnya karena bencana tsunami pada saat itu harus juga menjadi momentum kabar duka bagi Umi Kulsum (42), ibu yang telah mengandung Pipit selama sembilan bulan. Air mata tiba-tiba berderai ketika ia harus menelan kenyataan pahit bahwa putrinya dinyatakan mengalami keterlambatan dalam tumbuh dan berkembang karena stimulus yang bekerja di otaknya tidak berjalan dengan baik sehingga respon yang dihasilkan juga tidak sepadan. 


Padahal, menjadi kebahagiaan terbesar orang tua ketika melihat pelita hidupnya lahir dalam keadaan sehat. Dalam diam, Umi juga terkadang membayangkan melihat putrinya yang sedang bermain dengan teman sebayanya. 


“Ibu terpaksa tidak menyekolahkan Pipit karena mentalnya yang tidak stabil. Bisa saja ia tiba-tiba kejang dan saya kesusahan untuk mengaturnya,” kata Umi Kulsum. 


Seperti orang tua pada umumnya yang memberikan perhatian lebih kepada anaknya, naluri Umi menjadi kunci mereka dalam berkomunikasi. 


“Saya bisa tahu itu ketika anak saya mengamuk, berarti dia lapar. Saya yang mengurusnya setiap saat, dari bangun tidur sampai tidur lagi,” kata Umi yang menjadi pemangku harapan Pipit. 


Keluarganya pun sudah berikhtiar mencoba berbagai macam penyembuhan. Namun, langit telah memberikan jawaban bahwa usaha yang mereka perjuangkan telah berakhir sampai disini.


“Pipit pernah berobat ke dokter saraf di Jakarta. Sudah coba juga terapi di Banten daerah keluarga kami, tetapi sama saja tidak ada perubahan.” 


Sampai sekarang, Pipit hanya mendapatkan asupan nutrisi dari makanan sehari-hari dan pengobatannya sudah diberhentikan. Karena keadaannya tersebut, warga sekitar cenderung acuh tak acuh terhadap kondisi Pipit sejak lahir hingga saat ini. 


Hanya berbeda 10 rumah dari Pipit, kondisi yang sama juga dialami oleh seorang anak bernama Aufal (10). Ia merupakan pribadi yang ceria dan aktif sejak kecil. Ketika berumur 3 tahun, anak berambut hitam tebal itu mendadak tidak bisa merespon, bahkan mulutnya membeku seolah lupa bagaimana caranya mengeluarkan kata-kata indah yang selalu menjadi penyemangat hidup sang ibu dan ayah. Tangis pecah seketika melihat sang anak berubah drastis, merasa terpukul dan putus asa selalu terbesit dalam pikiran mereka. 


Pengobatan terapi berjalan sudah diupayakan, baik segi medis dan segala macam ikhtiar lain sudah diusahakan. Namun, hasil yang diterima masih kelompang. Pahit memang kenyataan itu harus diterima, sembari berjalannya waktu ketabahan Tia (30) semakin setebal tembok. 


Meski memiliki keterbatasan dalam berbicara, laki–laki berumur 10 tahun ini tidak pernah kehilangan cahaya hidupnya. Semangatnya bagaikan benteng samudra yang melintas tanpa batas. 


Saat itu, Aufal terlihat sangat sehat dengan postur tubuh yang berisi, kulit berwarna cokelat dengan rambut hitam tebal, memakai baju kuning yang melambangkan keceriaan. Aufal mengisi hari dengan bersepeda dan bermain teka-teki bersama adiknya.


Ia mengemban ilmu sejak umur 5 tahun di SLB (Sekolah Luar Biasa) daerah Bantar Jati. Namun, beralih ke tempat yang lebih mudah dijangkau di BKS Kecamatan Citeureup sejauh 1,7 kilometer. 


“Rajin anaknya, kadang kalau berangkat sekolah juga dia yang paling semangat bangunin saya,” tutur Tia.


Gestur tangan adalah cara untuk Aufal berucap, meski begitu dirinya mudah berbaur kendati diajak bercakap satu sama lain. “Kalau ada lomba-lomba, misalnya 17 Agustusan. Anaknya senang sekali, saya juga ikut senang. Kadang kalau diingat suka sedih.” Terlihat goresan senyum bahagia sang puan. 


Bukankah itu hal yang diharapkan orang tua? Tia merasa anaknya mempunyai kelebihan daripada anak lainnya. Aufal bagaikan berlian yang tetap bersinar dimanapun ia berada. “Saya sangat menyayangi Aufal, karena bagi saya setiap manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing”. 


Selayaknya kisah Pipit, harapan mulia dari ibu Aufal hanya mendambakan anaknya kembali menjadi normal seperti saat Aufal masih bisa berucap, “ibu aku mau permen itu.” 


Perjalanan kehidupan mereka sangatlah berat. Ingin sekali merasakan kehidupan di luar yang lebih bebas. Namun, terkadang hidup tidak adil. “Kenapa harus kami yang mengalaminya?”. Tak jarang orang takut ketika berada di dekatnya dan mencemooh mereka. 


“Teman sebaya Aufal mungkin suka ngeledekin, tapi gak berlarut juga. Paling sehari dua hari mereka main bareng lagi. Sedih terkadang melihat mereka dapat perlakuan buruk apalagi dari warga sini. Berharap warga yang bisa lebih beradaptasi, mengayomi mereka seperti warga lainnya,” jelas Nani (42) penghuni rumah sebelah. 


Penyandang disabilitas memiliki keterbatasan dalam ruang publik. Bahkan untuk sekadar membeli bahan pangan, perlakuan penjual kepada mereka terlihat berbeda. Padahal sejatinya mereka juga bagian dari kita selaku aktor dalam bersosial. 


Perlakuan lingkungan sekitar masih menjadi musuh terbesar kaum marginal. Banyak dari mereka memilih untuk menghindar. Sangat menyayat hati, ketika sanak saudara melontarkan ucapan, “bukan tanggung jawab kami.” 


Untuk bisa berkenalan dengan dunia, Yeti Harnani (47) selaku ketua RT wilayah menyarankan untuk pergi ke UPT Balai Kesejahteraan Sosial (BKS) Dinas Sosial Kabupaten Bogor. Tempat berlindung dari kejamnya dunia selagi diselimuti rasa tenteram, area di mana mereka bertemu dengan yang bernasib sama. 


“Dukungan emosionalitas itu yang pertama,” ungkap perempuan berkerudung cokelat bermata tegas itu. Meskipun sekitar memandang sebelah mata, hanya keluarga yang menjadi tempat sandaran bagi mereka untuk terus berupaya hidup. 


Sampai saat ini, mereka tidak menerima 1% pun bantuan khusus dari kaum berdasi. Wanita yang menjadi suara warganya pun cukup lelah menunggu, kapan bantuan yang diajukan akan diberikan. Hidup mereka hanya bergantung pada pendapatan pribadi saja. Bahkan tidak berharap lebih dari orang sekitar. 


Menurut data dari UPT Balai Kesejahteraan Sosial (BKS) Dinas Sosial Kabupaten Bogor, pasien penyandang disabilitas pada tahun 2023 di Kecamatan Citeureup berjumlah 50 orang yang terdiri dari 26 laki-laki, 24 perempuan dan diantaranya adalah anak-anak. Sedangkan fasilitas yang tersedia hanya meja belajar 12 buah,

alat musik degung untuk hiburan 1 set, kursi roda 2 buah, dan alat tulis. Sementara, alat bantu dengar sedang diajukan ke pihak yang berwenang. 


Hasil data tersebut juga sudah menunjukkan kesenjangan antara das Sollen dan das Sein, yaitu apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataannya. Fasilitas yang disediakan belum terfokuskan untuk mereka yang mengalami keterbatasan. Padahal mereka juga mempunyai hak dalam mengakses fasilitas umum. 


Kondisi yang sangat ironis, bahkan bantuan khusus disabilitas yang dijanjikan sejak pengajuan diserahkan tidak kunjung mereka terima. Yang pernah mereka rasakan hanya bantuan sosial pertama dan terakhir ketika pandemi Covid-19 pada tahun 2021 berupa sembako. 


Proses bantuan khusus penyandang disabilitas terus diajukan, tetapi dari pihak Dinas Sosial belum ada pergerakan yang berarti. Jika berlanjut seperti ini, bukan hanya kepercayaan yang hilang namun harapan mereka untuk hidup layak juga ikut sirna. 


Dosen Sosiologi Universitas Djuanda Bogor, Dr. Agustina Multi Purnomo, SP., M. Si. menyebutkan bahwa seharusnya kaum disabilitas tidak ditempatkan sebagai kaum yang marginal, kaum yang disisihkan, kaum yang tidak dianggap mainstream itu karena kurangnya empati dan simpati masyarakat. 


“Meskipun masih bisa dibilang wajar, karena kita tidak bisa memaksakan orang lain juga. Empati menempatkan kita pada posisi dia. Sehingga, kita bisa merasakan apa yang dia rasakan. Tentunya bukan hanya bantuan pemerintah saja yang dibutuhkan, tetapi seluruh elemen masyarakat pun harus mendukung. Entah itu menawarkan bantuan ataupun lainnya.” 


Wanita yang meraih gelar Doktor Sosiologi dari Universitas Indonesia tersebut menambahkan bahwa kesadaran lingkup internal dan eksternal juga menjadi faktor penting bagi kemajuan anak penyandang disabilitas. Jika ingin ada kemajuan, maka harus ada usaha yang dilakukan. 


Manusia seperti puluhan kolam, masing–masing memantulkan cahaya dari bulan yang sama. Uluran tangan hangat seluruh elemen masyarakat, bagaikan cahaya yang menyinari celah tunggal. Tidak ada seorang pun yang salah dalam hal ini, karena takdir sudah lebih dahulu menentukan kehidupan mereka.


Tulisan ini ditulis oleh Uswatun Khasanah, Muthiara Sjahrani Umam, dan Aji Santoso sebagai Mahasiswa Sains Komunikasi FISIPKOM Universitas Djuanda yang berhasil meraih Juara 2 Tingkat Nasional Lomba Journalight pada Kompetisi Pekan Komunikasi 2023 yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia.

Posting Komentar

0 Komentar