𝗟𝗼𝘀𝘁 𝗬𝗼𝘂

Sumber: Pinterest 

Lingkar Studi Pers, Bogor - Merangkai Kisah.

Hujan deras turun di pelataran pondok. Angin meniup halus ujung kerudungku, sementara tangan ini bergetar memegang ponsel. Pesan dari ibu baru saja masuk.

"Nak, Ayah koma. Dirawat di RSUD Persahabatan. Ibu tahu kamu lagi ujian, tapi…"

Mataku kabur. Dunia berputar. Ujian yang tadi terasa penting, kini tak lebih dari tumpukan kertas tanpa makna.

Aku adalah anak bungsu. Kata orang, anak terakhir itu manja. Tapi aku bukan manja—aku dicintai, sangat dicintai oleh ayahku.

“Ayah paling sayang sama Ade,” katanya suatu malam saat kami duduk di teras rumah. 

“Dulu waktu kamu belum lahir, Ayah udah nunggu-nunggu kamu. Ayah selalu bilang ke Ibu, ‘aku ingin punya anak perempuan yang manis, pintar, dan kuat.’ Dan kamu datang.”

Aku hanya tertawa kecil, menatap bintang yang bersinar malu-malu.

“Kalau aku nakal, Ayah marah nggak?” tanyaku.

Ayah menggeleng sambil mengusap lembut kepalaku.

“Nggak. Ayah cuma takut kamu sedih. Marah Ayah bukan buat mukul, tapi buat lindungi kamu.”

Itulah ayahku. Laki-laki yang lembut, tak pernah sekalipun mengangkat tangan. Bahkan saat aku sakit parah karena DBD, dia yang jadi perawatku. Tiap malam mengganti kompres, mengecek suhu tubuhku, bahkan rela mengambil cuti kerja.

“De, tolong sembuh ya. Ada Ayah di sini. Kita berjuang sama-sama.”

Itu kata-kata yang masih terngiang sampai sekarang. Suaranya, wajahnya, semua masih hidup di pikiranku. Karena saat itu, aku memang hampir menyerah—tapi tidak bisa. Aku ingin bertahan untuk Ayah.

Namun sekarang, ketika Ayah yang terbaring lemah, aku tak bisa di sisinya. Aku mencoba menyampaikan kata-kata yang sama lewat doa.

“Yah, tolong bangun. Kita berjuang sama-sama, kan?”

Tapi jawabannya hanya keheningan.

Saat aku akhirnya tiba di rumah sakit, semuanya sudah terlambat. Ayah telah pergi. Dalam diam. Tanpa pamit.

Ayah, kota Jakarta memang indah. Tapi ketika aku melihat kota ini… terasa sangat menyakitkan. Karena kali ini, aku mengantarkan mu pulang ke rumah dengan suara sirene yang terdengar nyaring.

Bukan tawa, bukan cerita. Tapi tangis dan kehilangan.

Hari-hari setelahnya seperti malam yang tak kunjung pagi. Aku tersesat dalam hidup yang sepi. Hampa. Arah hilang.

Aku duduk lagi di teras rumah. Tempat favorit kami. Payung biru tergantung di sudut, peninggalan Ayah. Angin membawa aroma tanah basah—persis seperti malam itu.

“Yah,” bisikku, menatap langit.

“Kalau aku bisa minta satu hal, tolong datang ke mimpiku, ya? Ceritakan ke aku, Ayah baik-baik saja di sana. Peluk aku. Bilang kalau semuanya akan baik-baik saja.”

Aku merindukanmu, Yah. Lebih dari kata-kata bisa gambarkan.

Akhir kata, meski dunia terasa sunyi tanpamu, aku akan tetap hidup. Bukan karena kuat, tapi karena cinta Ayah akan selalu jadi alasan aku bangkit lagi.


Penulis: Nuraini Cantik

Posting Komentar

0 Komentar