𝗦𝗲𝗹𝗮𝘁 𝗛𝗼𝗿𝗺𝘂𝘇 𝗗𝗶𝘁𝘂𝘁𝘂𝗽, 𝗞𝗼𝗻𝗳𝗹𝗶𝗸 𝗜𝗿𝗮𝗻-𝗜𝘀𝗿𝗮𝗲𝗹 𝗠𝗲𝗺𝗮𝗻𝗮𝘀: 𝗗𝘂𝗻𝗶𝗮 𝗱𝗶 𝗔𝗺𝗯𝗮𝗻𝗴 𝗞𝗿𝗶𝘀𝗶𝘀 𝗚𝗹𝗼𝗯𝗮𝗹

Foto: X (Twitter)/@Ivanteviste_, diakses 24 Juni 2025

Lingkar Studi Pers, Bogor - Konflik bersenjata antara Iran dan Israel semakin memanas dan berpotensi menyeret dunia dalam krisis global. Dimulai dari serangan militer Israel bertajuk “The Rising Lion” pada 13–15 Juni 2025, situasi berkembang cepat menuju eskalasi besar yang melibatkan Amerika Serikat dan berujung pada penutupan Selat Hormuz oleh Iran.

Dalam operasi militer awalnya, Israel menargetkan pangkalan militer dan fasilitas peluncuran rudal milik Iran menggunakan pesawat tempur F-15, F-16, dan F-35. Selain menyerang Foto: X (Twitter)/@Ivanteviste_, diakses 24 Juni 2025 strategis, serangan juga ditujukan untuk melumpuhkan para petinggi militer dan ilmuwan rudal Iran.

Sebagai balasan, Iran meluncurkan operasi “True Promise” pada 16 Juni 2025. Serangan ini menggunakan lebih dari 378 rudal balistik dan drone tempur yang menyasar infrastruktur penting di wilayah urban Israel. Sekitar 280 bangunan dilaporkan rusak, termasuk fasilitas kesehatan dan pendidikan. Meskipun sebagian serangan berhasil diantisipasi sistem pertahanan udara Israel, kerusakan tetap meluas.

Puncaknya terjadi pada 21–22 Juni ketika Israel dan Amerika Serikat melakukan operasi gabungan bernama “Midnight Hammer”. Israel mengerahkan pesawat tempur F-35 dan F-15, sementara Amerika Serikat menerjunkan pesawat B-2 Spirit yang dilengkapi bom seberat 30 ton. Serangan tersebut menjadi sinyal keterlibatan langsung AS dalam konflik, setelah sebelumnya memberi peringatan keras kepada Iran.

Sebagai bentuk respons, Iran mengancam dunia dengan strategi paling krusial: menutup Selat Hormuz, jalur vital pengiriman minyak dunia. Parlemen Iran secara resmi menyetujui penutupan selat tersebut. Penutupan ini membuat Amerika Serikat ketar-ketir dan bahkan meminta China untuk menekan Iran agar membuka kembali selat tersebut.

Raffi Mulya, dalam unggahan TikTok-nya, menyebut Selat Hormuz sebagai “truf” paling efektif milik Iran. Data dari MarineTraffic menunjukkan betapa padatnya lalu lintas kapal pengangkut energi di selat tersebut. Penutupannya diprediksi akan memicu lonjakan harga minyak, inflasi, dan kemunduran ekonomi global.

Demonstrasi besar-besaran pun terjadi di Amerika Serikat, di mana warga menuntut pemerintah untuk tidak mencampuri konflik.

“Masyarakat Amerika sebenarnya tidak menginginkan perang,” kata Raffi dalam video Tiktok nya.

Sementara itu, kabar dari jurnalis independen Anwar menyebut dunia berada di ambang chaos. 

“Penutupan Selat Hormuz bisa memicu krisis energi, melonjaknya harga komoditas, dan kemiskinan massal,” ujarnya. Ia bahkan memperingatkan potensi keterlibatan Rusia dan China dalam konflik yang lebih luas, serta meningkatnya risiko perang dunia ketiga.

Pada 24 Juni pukul 00.00, Iran melakukan serangan balik terhadap Amerika Serikat, yang dikonfirmasi sebagai bentuk retaliasi atas serangan sebelumnya. Ledakan besar dilaporkan terjadi di ibu kota Qatar, Doha. Pemerintah AS kemudian mengaktifkan mode siaga militer dengan mengirim pesawat pengebom B-2 ke Pangkalan Guam.

Meski situasi terlihat kian genting, Presiden Iran Masoud Pazeshkian menyatakan masih terbuka untuk negosiasi nuklir. Ia menegaskan bahwa program nuklir Iran hanya untuk riset dan kepentingan sipil.

Namun, Putra Aji Sujati dalam laporannya menyebut bahwa konflik ini bukan lagi perang proksi seperti sebelumnya. 

“Ini adalah perang langsung, terang-terangan antara dua negara yang selama ini bertarung lewat bayang-bayang,” katanya. Ia juga menyoroti ketimpangan kekuatan antara Israel yang unggul dalam teknologi militer dan Iran yang kuat dalam perang gerilya serta jaringan proksi.

Dunia kini berada di persimpangan antara ego dan akal sehat. Mediasi telah dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Qatar, dan Swiss, namun belum membuahkan hasil. Jika satu saja pihak melakukan kesalahan strategis, bukan tidak mungkin konflik ini meledak menjadi Perang Dunia Ketiga.


Penulis: Siti Balqis Sari Manah 

Posting Komentar

0 Komentar